Monday, December 30, 2013

PENDEKATAN ILMIAH DALAM PEMBELAJARAN


Proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu proses ilmiah.  Karena itu Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan ilmiah dalam pembelajaran.  Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) ketimbang penalaran deduktif (deductive reasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi idea yang lebih luas. Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum.
Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya.  Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur  dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik.  Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau ekperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis.

Pendekatan Ilmiah dan Non-ilmiah dalam Pembelajaran
Pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah itu lebih efektif hasilnya dibandingkan dengan pembelajaran tradidional. Hasil penelitian membuktikan bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi informasi dari guru sebesar 10 persen setelah 15 menit dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari guru sebesar lebih dari 90 persen setelah dua hari dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 50-70 persen.

Proses pembelajaran  dengan berbasis pendekatan ilmiah harus dipandu dengan kaida-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut ini.
  • Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
  • Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
  • Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.
  • Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi pembelajaran.
  • Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran.
  • Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggung -jawabkan.
  • Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.

Proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai non-ilmiah yang meliputi intuisi, akal sehat, prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir kritis.
·      Intuisi.
Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar pengalaman dan kecakapannya. Istilah ini sering juga dipahami sebagai penilaian terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan dengan sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui proses panjang dan tanpa disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali menafikan dimensi alur pikir yang sistemik.

·       Akal sehat.
       Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru dan peserta didik hanya semata-mata menggunakan akal sehat dapat pula menyesatkan mereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran.

·         Prasangka. 
            Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas dasar akal sehat (comon sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan seseorang (guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didomplengi kepentingan pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik.

·      Penemuan coba-coba.
           Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna.  Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan cara coba-coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku.  Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya bahkan mampu mendorong kreatifitas.  Karena itu, kalau memang tindakan coba-coba ini akan dilakukan, harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban. Misalnya, seorang peserta didik mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia kaget komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang tombol yang menyebabkan komputer laptop itu menyala dan mengulangi lagi tindakannya, hingga dia sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan lambang  seperti apa yang bisa memastikan bahwa komputer laptop itu bisa menyala.

·     Berpikir kritis.
          Kemampuan berpikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang bependidikan tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak orang. Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena bukan berdasarkan hasil esperimen yang valid dan reliabel, karena pendapatnya itu hanya didasari atas pikiran yang logis semata.

Sunday, December 29, 2013

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU

Pembelajaran Tematik Terpadu dapat diimplementasikan dengan beragam model. Menurut Robin Fogarty  (1991) ada sepuluh model PTP, seperti disajikan berikut ini.

  1. Model penggalan (fragmented model). Model ini diimplementasikan dengan pemaduan yang terbatas pada satu mata pelajaran. Misalnya, mata pelajaran bahasa Indonesia materi pembelajaran tentang menyimak, berbicara, membaca dan menulis dapat dipadukan dalam materi pembelajaran ketrampilan berbahasa.
2.    Model keterhubungan (connected model). Model ini diimplementasikan berbasis pada anggapan bahwa beberapa substansi pembelajaran berinduk pada mata pelajaran tertentu.  Butir-butir pembelajaran seperti: kosakata, struktur, membaca, dan mengarang misalnya dapat dipayungkan pada mata pelajaran bahasa dan sastra.

3.         Model sarang (nested model). Model ini diimplementasikan dengan memadukan berbagai bentuk penguasaan konsep ketrampilan melalui sebuah kegiatan pembelajaran. Misalnya, pada jam-jam tertentu guru memfokuskan kegiatan pembelajaran pada pemahaman bentuk kata, makna kata,dan ungkapan dengan saran pembuahan ketrampilan dalam mengembangkan daya imajinasi, daya berfikir logis, menentukan ciri bentuk dan makna kata-kata dalam puisi, membuat ungkapan dan menulis puisi.

4.         Model Urutan/Rangkaian (sequenced model). Model ini memadukan topik-topik antarmata pelajaran yang berbeda secara pararel. Isi  cerita dalam roman sejarah, misalnya: topik pembahasannya secara pararel atau dalam jam yang sama dapat dipadukan dengan ikhwal sejarah perjuangan bangsa karakteristik kehidupan sosial masyarakat pada periode tertentu maupun topik yang menyangkut perubahan makna kata.

5.         Model berbagi (shared/participative model). Model ini merupakan pemaduan pembelajaran akibat munculnya tumbang-tindih (overlapping concept) atau ide pada dua mata pelajaran atau lebih. Buir-butir pembelajaran tetang kewarganegaraan dalam PKn misalnya, dapat bertumpang tindih dengan butir pembelajaran Tata Negara, Sejarah Perjuangan Bangsa, dan sebagainya.
6.         Model jaring laba-laba (webbed model). Model ini berangkat dari pendekatan tematis sebagai acuan dasar bahan dan kegiatan pembelajaran. Tema yang dibuat dapat mengikat kegiatan  pembelajaran, baik dalam mata pelajaran tertentu maupun antar mata pelajaran.

7.    Model galur (threaded model). Model ini memadukan bentuk-bentuk ketrampilan. Misalnya: melakukan prediksi dan estimasi dalam matematika, ramalan terhadap kejadian-kejadian, antisipasi terhadap cerita, dsb. Bentuk model  ini terfokus pada meta kurikulum.

8.         Model celupan (immersed model). Model ini dirancang untuk membantu peserta didik dalam menyaring dan memadukan berbagai pengalaman dan pengetahuan dihubungkan dengan medan pemakaiannya. Kegiatan pembelajaran diarahkan untuk mewadahi tukar pengalaman dan pemanfaatan pengalaman masing-masing.

9.         Model jejaring (networked model). Model ini merupakan model pemaduan pembelajaran yang mengandaikan kemungkinan perubahan konsepsi, bentuk pemecahan masalah, maupun tuntutan bentuk ketrampilan baru setelah peserta didik mengadakan studi lapangan dalam situasi, kondisi, maupun konteks yang berbeda.

10.      Model terpadu (integrated model). Model ini merupakan pemaduan sejumlah topik dari mata pelajaran yang berbeda, tetapi esensinya sama dalam sebuah topik tertentu. Topik evidensi yang semula terdapat dalam pelajaran matematika, bahasa Indonesia, IPA,  dan IPS agar tidak membuat muatan kurikulum berlebihan, cukup diletakkan dalam mata pelajaran tertentu, misalnya IPA.

Jejaring Pembelajaran atau Pembelajaran Kolaboratif

Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan guru fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika  pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah peribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tntutan belajar secara bersama-sama. 
Lev Vygotsky
Hasil penelitian Vygotsky membuktikan bahwa ketika peserta didik diberi tugas untuk dirinya sediri, mereka akan bekerja sebaik-baiknya ketika bekerjasama atau berkolaborasi dengan temannya. Vigotsky merupakan salah satu pengagas teori konstruktivisme sosial. Pakar ini sangat terkenal dengan teori “Zone of Proximal Development” atau ZPD. Istilah ”Proximal” yang digunakan di sini bisa bermakna “next“. Menurut Vygotsky,  setiap manusia (dalam konteks ini disebut peserta didik) mempunyai potensi tertentu. Potensi tersebut dapat teraktualisasi dengan cara menerapkan ketuntasan belajar (mastery learning). Akan  tetapi di antara potensi dan aktualisasi peserta didik itu terdapat terdapat wilayah abu-abu.  Guru memiliki berkewajiban menjadikan wilayah “abu-abu” yang ada pada peserta didik itu dapat teraktualisasi dengan cara belajar kelompok.  
Vygostsky mengemukakan tiga wilayah  yang tergamit dalam ZPD yang disebut dengan “cannot yet do”,can do with help“, dan “can do alone“.  ZPD merupakan wilayah  “can do with help” yang sifatnya tidak permanen, jika proses pembelajaran mampu menarik pebelajar dari zona tersebut dengan cara kolaborasi atau pembelajaran kolaboratif.

Thursday, December 26, 2013

PERAN GURU DAN PESERTA DIDIK

1.      Guru dan peserta didik saling berbagi informasi.
Dengan pembelajaran kolaboratif,  peserta didik memiliki ruang gerak untuk menilai  dan membina ilmu pengetahuan, pengalaman personal, bahasa komunikasi, strategi dan konsep pembelajaran sesuai dengan teori, serta menautkan kondisi sosiobudaya dengan situasi pembelajaran. Di sini, peran guru lebih banyak sebagai pembimbing dan manajer belajar ketimbang memberi instruksi dan mengawasi secara rijid.
Contoh:
Jika guru mengajarkan topik “hidup bersama secara damai.” Peserta didik yang mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan topik tersebut berpeluang menyatakan sesuatu pada sesi pembelajaran, berbagi idea, dan memberi garis-garis besar  arus komunikasi antar peserta didik. Jika peserta didikmemahami dan melihat fenomena nyata kehidupan bersama yang damai itu, pengalaman dan pengetahuannya dihargai dan dapat dibagikan dalam jaringan pembelajaran mereka.  Mereka pun akan termotivasi untuk melihat dan mendengar. Di sini peserta didik juga dapat merumuskan kaitan antara proses pembelajaran yang sedang dilakukan dengan dunia sebenarnya.

2.      Berbagi tugas dan kewenangan.
Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berbagi tugas dan kewenangan dengan peserta didik, khususnya untuk hal-hal tertentu. Cara ini memungkinan peserta didik menimba pengalaman mereka sendiri,  berbagi strategi dan informasi, menghormati antarsesa, mendoorong tumbuhnya ide-ide cerdas, terlibat dalam pemikiran kreatif dan kritis serta memupuk dan menggalakkan mereka mengambil peran secara terbuka dan bermakna.
·         Guru sebagai mediator.
Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berperan sebagai mediator atau perantara. Guru berperan membantu menghubungkan informasi  baru dengan pengalaman yang ada serta membantu peserta didik jika mereka mengalami kebutuan dan bersedia menunjukkan cara bagaimana mereka memiliki kesungguhan untuk belajar.
·         Kelompok peserta didik yang heterogen.
Sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didk yang tumbuh dan berkembang sangat penting untuk memperkaya pembelajaran di kelas.  Pada kelas kolaboratif peserta didik dapat menunjukkan kemampuan dan keterampilan mereka, berbagi informasi, serta mendengar atau membahas sumbangan informasi dari peserta didik lainnya. Dengan cara seperti ini akan muncul “keseragaman” di dalam heterogenitas peserta didik.
Contoh Pembelajaran Kolaboratif
Guru ingin mengajarkan tentang konsep, penggolongan sifat, fakta, atau mengulangi informasi tentang objek. Untuk keperluan pembelajaran ini dia menggunakan media sortir kartu (card sort).  Prosedurnya dapat dilakukan seperti berikut ini.
  • Kepada peserta didik diberikan kartu indeks yang memuat informasi atau contoh yang cocok dengan satu atau lebih katagori.
  • Peserta didik diminta untuk mencari temannya dan menemukan orang yang memiliki kartu dengan katagori yang sama.
  • Berikan kepada peserta didik yang kartu katagorinya sama menyajikan sendiri kepada rekanhya.
  • Selama masing-masing katagori dipresentasikan oleh peserta didik, buatlah catatan dengan kata kunci (point) dari pembelajaran tersebut yang dirasakan penting.

3.      Macam-macam Pembelajaran Kolaboratif
Banyak merode yang dipakai dalam pembelajaran atau kelas kolaboratif. Beberapa di antaranya dijelaskan berikut ini.
·         JP = Jigsaw Proscedure.
Pembelajaran dilakukan dengan cara peserta didik sebagai anggota suatu kelompok diberi tugas yang berbeda-beda mengenai suatu pokok bahasan. Agar masing-masing peserta didik anggota dapat memahami keseluruhan pokok bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian didasari   pada rata-rata skor tes kelompok.
·         STAD = Student Team Achievement Divisions.
Peserta didik dalam suatu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Anggota-anggota dalam setiap kelompok bertindak saling membelajarkan. Fokusnya adalah keberhasilan seorang akan berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok dan demikian pula keberhasilan kelompok akan berpengaruh terhadap keberhasilan individu peserta didik lainnya. Penilaian didasar­i pada pencapaian hasil belajar individual maupun kelompok peserta didik.
·         CI = Complex Instruction.
Titik tekan metode ini  adalam pelaksanaan suatu proyek yang berorientasi pada penemuan, khususnya dalam bidang sains, matematika, dan ilmu pengetahuan sosial. Fokusnya adalah menumbuhkembangkan ketertarikan semua peserta didik sebagai anggota kelompok terhadap pokok bahasan. Metode ini umumnya digunakan dalam pembelajaran yang bersifat bilingual (menggunakan dua bahasa) dan di antara para peserta didik yang sangat heterogen. Penilaian didasari pada proses dan hasil kerja kelompok.
·         TAI = Team Accelerated Instruction.
Metode ini merupakan kombinasi antara pembelajaran kooperatif/kolaboratif dengan pembelajaran individual. Secara bertahap, setiap peserta didik sebagai anggota kelompok diberi soal-soal yang harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah itu dilaksanakan penilaian bersama-sama dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan benar, setiap peserta didik mengerjakan soal-soal berikutnya. Namun jika seorang peserta didik belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan benar, ia harus menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap tahapan soal disusun berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian didasari pada hasil belajar individual maupun kelompok.
·         CLS = Cooperative Learning Stuctures.
Pada penerapan metode pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk dengan anggota dua peserta didik (berpasangan). Seorang peserta didik bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee. Tutor mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban tutee benar, ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang waktu yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua peserta didik yang saling berpasangan itu berganti peran.
·         LT = Learning Together
Pada metode ini kelompok-kelompok sekelas beranggotakan peserta didik yang beragam kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan satu set lembar tugas. Penilaian didasarkan pada hasil kerja kelompok.
·         TGT = Teams-Games-Tournament.
Pada metode ini, setelah belajar bersama kelompoknya sendiri, para anggota suatu kelompok akan berlomba dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Penilaian didasari pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok peserta didik.
·         GI = Group Investigation.
Pada metode ini semua anggota kelompok dituntut untuk merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan pemecahan masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan dikerjakan dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana perencanaan penyajiannya di depan forum kelas. Penilaian didasari pada proses dan hasil kerja kelompok.
·         AC = Academic-Constructive Controversy.
Pada metode ini setiap anggota kelompok dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik intelektual yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik bersama anggota sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran kritis, pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan. Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok mempertahankan posisi yang dipilihnya.
·         CIRC = Cooperative Integrated Reading and Composition.

Pada metode pembelajaran ini mirip dengan TAI. Metode pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca, menulis dan tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para peserta didik saling menilai kemampuan membaca, menulis dan tata bahasa, baik secara tertulis maupun lisan di dalam kelompoknya.

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU DENGAN PENDEKATAN SCIENTIFIC

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU
DENGAN PENDEKATAN SCIENTIFIC

A.      Pendahuluan  
Inovasi pendidikan di bidang kurikulum diharapkan secara periodik dapat dilakukan untuk kepentingan mengubah dan memperbaiki cara belajar dan membelajarkan materi kepada peserta didik. Kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, dengan mengedepankan peserta didik aktif.
Pembelajaran dimaksud diharapkan yang memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik  dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral.
Kualitas pendidikan sangatlah bergantung pada kesadaran, pengertian, komitmen, dan  partisipasi serta  dedikasi dari para pendidik dan tenaga kependidikan, terutama  guru sebagai ujung tombak yang secara langsung menghadapi peserta didik. Apabila guru dapat menciptakan proses pembelajaran  yang dapat mengubah hasil belajar peserta didik, dan dapat meningkatkan motivasi belajar, yang dapat meningkatkan rasa percaya diri peserta didik, dapat meningkatkan harga diri dengan menerapkan berbagai strategi dan model pembelajaran, maka visi dan misi guru sebagai pembelajar boleh dikatakan berhasil.
Proses pembelajaran merupakan fenomena yang kompleks. Guru lebih banyak berhubungan dengan pola pikir peserta didik di mana setiap peserta didik – siapa pun, dimana pun - memiliki setumpuk kata, pikiran, tindakan yang dapat mengubah lingkungan baik di keluarga, di sekolah maupun di masyarakat.
Mulai tahun ajaran baru 2013 pola pembelajaran segera disosialisasikan bagi guru kelas I sampai dengan kelas VI, menggunakan Pembelajaran Tematik Terpadu. Di lapangan begitu beragam nuansa tematik ini sejak digulirkan di kalangan guru, dan sekolah, sepertinya terjadi suatu “kerancuan, dan  perbedaan pemahaman. Guru banyak yang berpikir dan bertanya-tanya, apakah selama ini cara pembelajaran yang dirasakanya sudah menghasilkan lulusan peserta didik berprestasi, dan sudah mencetak  serta menghasilkan dokter, insinyur, birokrat dianggap kurang berhasil?. Sehingga ada ungkapan bahwa “saya sudah mengajar puluhan tahun, dan saya sudah mempunyai alumni yang berhasil menjadi pejabat, menjadi dokter, menjadi insinyur dan sebagainya dianggap tidak berhasil?. Pemikiran-pemikiran semacam ini akan menjadi penghambat bagi bergulirnya sebuah inovasi dalam bidang pendidikan.
Pembelajaran dengan menggunakan berbagai pendekatan, strategi dan metode diharapkan dapat memberi kemungkinan peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik  dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral.
Pembelajaran yang diciptakan baik di kelas maupun di luar kelas  diharapkan dapat dikondisikan dalam suasana hubungan peserta didik  dan guru yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang memberikan daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan contoh dan teladan). Terlebih bagi peserta didik sekolah dasar yang masih berada di Kelas 1, 2 dan 3, yang masih memerlukan bimbingan, dan perhatian, sebagaimana pelayanan para orang tua yang dengan kasih sayang membimbing mereka. Sedangkan di Kelas 4, 5, dan 6 mulai ditingkatkan pemahaman peserta didik untuk lebih memahami hidup dan kehidupan di lingkungan sekitar dengan menciptakan pola berpikir rasional. Mencari jawaban mengapa harus belajar membaca dan menulis? Mengapa harus belajar matematika, mengapa harus berinterakti dan saling berkomunikasi dengan teman dan sebagainya. Dengan pembelajaran tematik Terpadu diharapkan  dapat menjawab ke semuanya itu dengan catatan guru dan peserta didik memiliki komitmen dan selalu berpikir positif bahwa pola pembelajaran yang dilakukan adalah menuju ketercapaian kompetensi sebagaimana yang dituangkan di dalam standar kelulusan.
Pelaksanaan pembelajaran seyogyanya dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang. Jadi  guru (semua yang terjadi, tergelar dan berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan). Sebuah model pembelajaran diharapkan dapat dipergunakan sebagai wawasan untuk disesuaikan dengan kondisi peserta didik di masing-masing sekolah.

Peserta didik perlu dipersiapkan baik secara internal maupun eksternal, baik  ketika di dalam kelas maupun di luar kelas. Terlebih bagi peserta didik yang masih berada di sekolah dasar  tentu saja tidak dapat disamakan pelayannya dengan peserta didik yang ada di kelas menengah. Namun demikian baik peserta didik di kelas 1 sampai dengan kelas 6 di kondisikan menggunakan pendekatan tematik Terpadu dengan tema sebagai pemersatunya.

CONTOH PENERAPAN PENDEKATAN SCIENTIFIC DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU

CONTOH PENERAPAN PENDEKATAN SCIENTIFIC
DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU

A.   Pengantar
Memasuki Tahun 2013 akan segera diberlakukan pembelajaran  Tematik Terpadu bagi peserta didik mulai dari kelas I sampai dengan kelas VI. Pembelajaran dimaksud adalah dengan menggunakan Tema  yang akan menjadi pemersatu berbagai mata pelajaran.
Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah.  Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud  meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran. Untuk mata pelajaran, materi, atau situasi  tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari  nilai-nilai atau sifat-sifat nonilmiah. Pendekatan ilmiah pembelajaran antara lain meliputi  langkah-langkah pokok
1.    Mengamati
2.    Menanya
3.    Menalar
4.    Mencoba
5.    Mengolah
6.    Menyajikan
7.    Menyimpulkan dan
8.    Mengkomunikasikan
Langkah-langkah tersebut tidak selalu dilalui secara berurutan,  terlebih pada pembelajaran Tematik Terpadu, dimana pembelajarannya menggunakan Tema sebagai pemersatu. Sementara setiap mata pelajaran memiliki karakteristik keilmuan yang antara satu dengan lainnya tidak sama. Oleh karena itu agar pembelajaran bermakna perlu diberikan contoh-contoh agar dapat lebih memperjelas penyajian pembelajaran dengan pendekatan scientific.
B.    Pendekatan ilmiah dalam Pembelajaran Tematik Terpadu
Sebagaimana  telah disebutkan sebelumnya bahwa pembelajaran Tematik Terpadu merupakan suatu penyajian pembelajaran yang menyatukan beberapa mata pelajaran dengan Tema sebagai pemersatunya. Sementara karakteristik  keilmuan dari setiap materi pelajaran tidaklah sama maka khusus untuk penyajian pembelajaran dapat disajikan langkah dalam pendekatan ilmiah sebagai berikut:
1.    Mengamati
Dalam penyajian pembelajaran, guru dan peserta didik (Kelas I Sekolah Dasar) perlu memahami apa yang hendak dicatat, melalui kegiatan pengamatan. Mengingat peserta didik masih dalam jenjang Sekolah Dasar, maka pengamatan akan lebih banyak menggunakan media gambar, alat peraga yang sedapat mungkin bersifat kontekstual. Berikut contoh  Tema Kegiatanku. Peserta didik diajak mengamati gambar, kemudian mereka diajak mengidentifikasi, tentang ciri-ciri rumah. Apakah termasuk rumah yang bersih, dan apa syaratnya atau kriterianya rumah yang sehat. Dengan mengamati gambar, peserta didik akan dapat secara langsung dapat menceritakan kondisi sebagaimana yang di tuntut dalam kompetensi dasar dan indikator, dan mata pelajaran apa saja yang dapat dipadukan dengan media yang tersedia. Kegiatan apa  yang harus dilakukan dengan kondisi rumah yag diamati.
2.    Menanya
Peserta didik yang masih duduk di kelas I Sekolah Dasar tidak mudah diajak bertanya jawab apabila tidak  dihadapkan dengan media yang menarik. Guru yang efektif seyogyanya mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal.  Dengan media gambar peserta didik diajak bertanya jawab kegiatan apa saja yang harus dilakukan peserta didik agar rumah dan lingkungannya menjadi  bersih dan sehat  sekaligus membedakan rumah yang bersih dan yang tidak bersih. (Eksplorasi)
Bentuk pertanyaan, misalnya: Apakah ciri-ciri rumah yang sehat?





 Pada saat siswa mengamati dan menjawab pertanyaan guru, maka sudah memadukan dan mengakomodasi mata pelajaran Bahasa Indonesia, (untuk aspek mendengarkan, dan berbicaranya, membaca gambar serta menulis hasil identifikasi ciri-ciri rumah bersih dan sehat). Bagi  peserta didik yang masih duduk di kelas I Sekolah Dasar yang belum lancar membaca tulisan akan diganti dengan membaca gambar. Sedangkan konten yang  yang sedang dibahas merupakan substansi dari mata pelajaran Bahasa Indonesia/di dalamnya memuat IPA. Lebih lanjut dapat dipadukan dengan mata pelajaran  Matematika tentang bangun datar dan bangun ruang.
3.    Menalar
Apabila dikaitkan dengan contoh yang disajikan diatas, maka Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 adalah untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan.  Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penalaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat.
Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan dari reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori. Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari perspektif psikologi, asosiasi merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari kesamaan  antara pikiran atau kedekatan dalam ruang dan waktu. (Eksplorasi dan Elaborasi)
Contoh untuk kegiatan menalar ini bisa dengan gambar-gambar sebagai berikut:

No
Gambar
Kegiatan di rumah
Kegiatan di sekolah
Kegiatan di lingkungan masyarakat
1.




Ö


2.








3.








4.







5.









Peserta didik akan mengamati dan mengerjakan tugas dari guru dengan cara memberikan tanda cek ( √ )
4.    Mencoba
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, (Kelas I SD/MI) misalnya, peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA yang ada di dalam Bahasa Indonesia dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. 
Aplikasi metode eksperimen atau mencoba dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini adalah: (1) menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum; (2) mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus disediakan; (3) mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5) mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data; (6) menarik simpulan atas hasil percobaan; dan (7) membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil percobaan. (Eksplorasi dan elaborasi)
Contoh:
Peserta didik bisa diajak berdiri di tengah lapangan untuk mencoba dan mempraktekkan apakah bayang-bayang tubuh manusia bisa berjalan?
Dan pada pukul berapa bayang-bayang manusia menyatu dengan tubuh manusia?

5.    Mengolah
Pada tahapan mengolah ini peserta didik  sedapat mungkin dikondisikan belajar secara kolaboratif. Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan guru fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika  pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah peribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkinkan peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tuntutan belajar secara bersama-sama.  Peserta didik secara bersama-sama, saling bekerjasama, saling membantu mengerjakan hasil tugas terkait dengan materi yang sedang dipelajari (Kegiatan Elaborasi).

 





Hasil tugas  dikerjakan bersama dalam satu kelompok untuk kemudian dipresentasikan atau dilaporkan kepada guru
6.    Menyimpulkan
Kegiatan menyimpulkan merupakan kelanjutan dari kegiatan  mengolah, bisa dilakukan bersama-sama dalam satu kesatuan kelompok, atau bisa juga dengan dikerjakan sendiri setelah mendengarkan hasil kegiatan mengolah informasi.
7.    Menyajikan
Hasil tugas yang telah dikerjakan bersama-sama secara kolaboratif dapat disajikan dalam bentuk laporan tertulis dan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan untuk portofolio kelompok dan atau individu. Yang sebelumnya di konsultasikan terlebih dulu kepada guru. Pada tahapan ini kendatipun tugas dikerjakan secara berkelompok, tetapi sebaiknya hasil pencatatan dilakukan oleh masing-masing individu. Sehingga portofolio yang di basukkan ke dalam file atau Map peserta didik terisi dari hasil pekerjaannya sendiri secara  individu.


8.    Mengkomunikasikan
Pada kegiatan akhir diharapkan peserta didik dapat mengkomunikasikan hasil pekerjaan yang telah disusun baik secara bersama-sama dalam kelompok dan atau secara individu dari hasil kesimpulan yang telah dibuat bersama. Kegiatan mengkomunikasikan ini dapat diberikan klarifikasi oleh guru agar supaya peserta didik akan mengetahui secara benar apakah jawaban yang telah dikerjakan sudah benar atau ada yang harus diperbaiki.  Hal ini dapat diarahkan pada kegiatan konfirmasi sebagaimana pada Standar Proses.

C.  Penutup

Pendekatan ilmiah atau scientific dalam pembelajaran Tematik Terpadu akan semakin bagus apabila dilakukan secara alami, mengalir begitu saja, kontekstual dan terkait dengan pengalaman hidup sehari-hari peserta didik.  Langkah-langkah dalam pendekatan ilmiah seperti dijelaskan di atas tentu saja harus dijiwai oleh perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan,  gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif) dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan sehari-hari yang pada muaranya akan berdampak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.