A.
Langkah-langkah Pembelajaran dengan Pendekatan Ilmiah
Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk semua jenjang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
ilmiah. Proses pembelajaran harus
menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Dalam proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, ranah sikap
menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘mengapa’. Ranah keterampilan
menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik
tahu tentang ‘bagaimana’. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau
materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘apa’. Hasil akhirnya adalah
peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki
kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari
peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan
pengetahuan.
Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran semua mata pelajaran meliputi
menggali informasi melaui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi,
menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan,
dan mencipta. Untuk mata pelajaran, materi, atau situasi tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah
ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural. Pada
kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan
nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat nonilmiah.
Pendekatan ilmiah pembelajaran disajikan berikut ini.
1. Mengamati
Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses
pembelajaran (meaningfull learning).
Metode ini memiliki keunggulan tertentu,
seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik senang dan
tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam
rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan
matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan
mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa
ingin tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang
tinggi. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada
hubungan antara obyek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan
oleh guru.
Kegiatan mengamati dalam pembelajaran dilakukan dengan
menempuh langkah-langkah seperti berikut ini:
·
Menentukan
objek apa yang akan diobservasi
·
Membuat
pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi
·
Menentukan secara jelas
data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder
·
Menentukan
di mana tempat objek yang akan diobservasi
·
Menentukan
secara jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar
berjalan mudah dan lancar
·
Menentukan
cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan buku
catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
Kegiatan observasi
dalam proses pembelajaran meniscayakan keterlibatan peserta didik secara
langsung. Dalam kaitan ini, guru harus memahami bentuk keterlibatan peserta
didik dalam observasi tersebut.
·
Observasi
biasa (common observation). Pada
observasi biasa untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik merupakan subjek
yang sepenuhnya melakukan observasi (complete
observer). Di sini peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan
pelaku, objek, atau situasi yang diamati.
·
Observasi
terkendali (controlled observation). Seperti halnya observasi biasa, pada
observasi terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik sama sekali
tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Merepa
juga tidak memiliki hubungan apa pun dengan pelaku, objek, atau situasi yang
diamati. Namun demikian, berbeda dengan observasi biasa, pada observasi
terkendali pelaku atau objek yang
diamati ditempatkan pada ruang atau situasi yang dikhususkan. Karena itu, pada
pembelajaran dengan observasi terkendali termuat nilai-nilai percobaan atau
eksperimen atas diri pelaku atau objek
yang diobservasi.
·
Observasi
partisipatif (participant observation).
Pada observasi partisipatif, peserta didik melibatkan diri secara langsung
dengan pelaku atau objek yang diamati. Sejatinya, observasi semacam ini paling
lazim dilakukan dalam penelitian antropologi khususnya etnografi. Observasi semacam ini mengharuskan peserta
didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas, atau objek yang diamati. Di
bidang pengajaran bahasa, misalnya, dengan menggunakan pendekatan ini berarti
peserta didik hadir dan “bermukim” langsung di tempat subjek atau komunitas
tertentu dan pada waktu tertentu pula untuk
mempelajari bahasa atau dialek setempat, termasuk melibakan diri secara
langsung dalam situasi kehidupan mereka.
Selama proses pembelajaran, peserta didik dapat melakukan
observasi dengan dua cara pelibatan diri.
Kedua cara pelibatan dimaksud
yaitu observasi berstruktur dan observasi tidak berstruktur, seperti
dijelaskan berikut ini.
·
Observasi berstruktur.
Pada observasi berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, fenomena
subjek, objek, atau situasi apa yang ingin diobservasi oleh peserta didik telah
direncanakan oleh secara sistematis di bawah bimbingan guru.
·
Observasi
tidak berstruktur. Pada observasi yang tidak berstruktur dalam rangka proses
pembelajaran, tidak ditentukan secara baku atau rijid mengenai apa yang harus
diobservasi oleh peserta didik. Dalam kerangka ini, peserta didik membuat
catatan, rekaman, atau mengingat dalam memori secara spontan atas subjek,
objektif, atau situasi yang diobservasi.
Praktik observasi dalam pembelajaran hanya akan efektif
jika peserta didik dan guru
melengkapi diri dengan dengan alat-alat pencatatan dan alat-alat lain, seperti:
(1) tape recorder, untuk merekam pembicaraan; (1) kamera, untuk merekam objek
atau kegiatan secara visual; (2) film atau video, untuk merekam kegiatan objek
atau secara audio-visual; dan (3) alat-alat lain sesuai dengan keperluan.
Secara lebih luas, alat atau instrumen yang digunakan dalam
melakukan observasi, dapat berupa daftar cek (checklist), skala rentang (rating
scale), catatan anekdotal (anecdotal
record), catatan berkala, dan alat mekanikal (mechanical device). Daftar cek dapat berupa suatu daftar yang
berisikan nama-nama subjek, objek, atau faktor- faktor yang akan diobservasi.
Skala rentang , berupa alat untuk mencatat gejala atau fenomena menurut
tingkatannya. Catatan anekdotal berupa catatan yang dibuat oleh peserta didik
dan guru mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh subjek
atau objek yang diobservasi. Alat
mekanikal berupa alat mekanik yang dapat dipakai untuk memotret atau merekam
peristiwa-peristiwa tertentu yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang
diobservasi.
Prinsip-rinsip yang harus diperhatikan oleh guru dan
peserta didik selama observasi pembelajaran disajikan berikut ini.
·
Cermat,
objektif, dan jujur serta terfokus pada objek yang diobservasi untuk
kepentingan pembelajaran.
·
Banyak
atau sedikit serta homogenitas atau hiterogenitas subjek, objek, atau situasi
yang diobservasi. Makin banyak dan hiterogen subjek, objek, atau situasi yang
diobservasi, makin sulit kegiatan obervasi itu
dilakukan. Sebelum obsevasi dilaksanakan, guru dan peserta didik
sebaiknya menentukan dan menyepakati cara dan prosedur pengamatan.
·
Guru dan
peserta didik perlu memahami apa yang hendak dicatat, direkam, dan
sejenisnya, serta bagaimana membuat
catatan atas perolehan observasi.
2. Menanya
Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk
meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya.
Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta
didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya,
ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan
pembelajar yang baik.
Berbeda
dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyara, pertanyaan dimaksudkan untuk
memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk
“kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya
menginginkan tanggapan verbal. Bentuk pertanyaan, misalnya: Apakah ciri-ciri
kalimat yang efektif? Bentuk pernyataan, misalnya: Sebutkan ciri-ciri kalimat efektif!
a. Fungsi
bertanya
· Membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau topik
pembelajaran.
· Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif
belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri.
· Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus
menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya.
· Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas
substansi pembelajaran yang diberikan.
· Membangkitkan keterampilan peserta didik dalam berbicara,
mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis, sistematis, dan
menggunakan bahasa yang baik dan benar.
· Mendorong partisipasi peserta didik dalam berdiskusi,
berargumen, mengembangkan kemampuan berpikir,
dan menarik simpulan.
· Membangun sikap keterbukaan untuk saling memberi dan
menerima pendapat atau gagasan, memperkaya kosa kata, serta mengembangkan
toleransi sosial dalam hidup berkelompok.
· Membiasakan peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta
sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba muncul.
· Melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan
kemampuan berempati satu sama lain.
b. Kriteria
pertanyaan yang baik
· Singkat
dan jelas.
Contoh: (1)
Seberapa jauh pemahaman Anda mengenai faktor-faktor yang menyebabkan generasi
muda terjerat kasus narkotika dan obat-obatan terlarang? (2) Faktor-faktor
apakah yang menyebabkan generasi muda terjerat kasus narkotika dan obat-obatan
terlarang? Pertanyaan kedua lebih singkat dan lebih jelas dibandingkan
dengan pertanyaan pertama.
· Menginspirasi
jawaban.
Contoh: Membangun semangat kerukunan umat beragama
itu sangat penting pada bangsa yang multiagama. Jika suatu bangsa gagal
membangun semangat kerukukan beragama, akan muncul aneka persoalan sosial
kemasyarakatan. Coba jelaskan dampak sosial apa saja yang muncul, jika suatu
bangsa gagal membangun kerukunan umat beragama? Dua kalimat yang mengawali
pertanyaan di muka merupakan contoh yang diberikan guru untuk menginspirasi
jawaban peserta menjawab pertanyaan.
· Memiliki
fokus.
Contoh: Faktor-faktor apakah yang menyebabkan
terjadinya kemiskinan? Untuk pertanyaan seperti ini sebaiknya masing-masing
peserta didik diminta memunculkan satu jawaban. Peserta didik pertama hingga
kelima misalnya menjawab: kebodohan, kemalasan, tidak memiliki modal usaha,
kelangkaan sumber daya alam, dan keterisolasian geografis. Jika masih tersedia
alternatif jawaban lain, peserta didik yang keenam dan seterusnya, bisa dimintai
jawaban. Pertanyaan yang luas seperti di
atas dapat dipersempit, misalnya: Mengapa
kemalasan menjadi penyebab kemiskinan? Pertanyaan seperti ini dimintakan
jawabannya kepada peserta didik secara perorangan.
· Bersifat
probing atau divergen.
Contoh:
(1) Untuk meningkatkan kualitas hasil
belajar, apakah peserta didik harus rajin belajar? (2) Mengapa peserta didik yang sangat malas belajar cenderung menjadi
putus sekolah? Pertanyaan pertama cukup dijawab oleh peserta didik dengan Ya atau Tidak.
Sebaliknya, pertanyaan kedua menuntut jawaban yang bervariasi urutan jawaban
dan penjelasannya, yang kemungkinan memiliki bobot kebenaran yang sama.
· Bersifat
validatif atau penguatan.
Pertanyaan
dapat diajukan dengan cara meminta kepada peserta didik yang berbeda untuk menjawab pertanyaan yang
sama. Jawaban atas pertanyaan itu
dimaksudkan untuk memvalidasi atau
melakukan penguatan atas jawaban peserta didik sebelumnya. Ketika beberapa
orang peserta didik telah memberikan jawaban yang sama, sebaiknya guru menghentikan
pertanyaan itu atau meminta mereka memunculkan jawaban yang lain yang berbeda,
namun sifatnya menguatkan.
Contoh:
o Guru: “mengapa kemalasan menjadi penyebab kemiskinan”?
o Peserta didik I: “karena orang yang malas lebih banyak diam
ketimbang bekerja.”
o Guru: “siapa yang dapat melengkapi jawaban tersebut?”
o Peserta didik II: “karena lebih banyak diam ketimbang
bekerja, orang yang malas tidak produktif”
o Guru : “siapa yang
dapat melengkapi jawaban tersebut?”
o Peserta didik III: “orang malas tidak bertindak aktif,
sehingga kehilangan waktu terlalu banyak untuk bekerja, karena itu dia tidak
produktif.”
·
Memberi kesempatan peserta didik untuk berpikir ulang.
Untuk menjawab pertanyaan dari guru, peserta didik
memerlukan waktu yang cukup untuk memikirkan jawabannya dan memverbalkannya
dengan kata-kata. Karena itu, setelah mengajukan pertanyaan, guru hendaknya
menunggu beberapa saat sebelum meminta atau menunjuk peserta didik untuk
menjawab pertanyaan itu.
Jika dengan pertanyaan tertentu tidak ada peserta didik
yang bisa menjawah dengan baik, sangat dianjurkan guru mengubah pertanyaannya.
Misalnya: (1) Apa faktor picu utama Belanda menjajah Indonesia?; (2) Apa motif
utama Belanda menjajah Indonesia? Jika dengan pertanyaan pertama guru belum
memperoleh jawaban yang memuaskan, ada baiknya dia mengubah pertanyaan seperti
pertanyaan kedua.
· Merangsang
peningkatan tuntutan kemampuan kognitif.
Pertanyaan
guru yang baik membuka peluang peserta didik untuk mengembangkan kemampuan
berpikir yang makin meningkat, sesuai dengan tuntunan tingkat kognitifnya. Guru
mengemas atau mengubah pertanyaan yang menuntut jawaban dengan tingkat kognitif
rendah ke makin tinggi, seperti dari sekadar mengingat fakta ke pertanyaan yang
menggugah kemampuan kognitif yang lebih
tinggi, seperti pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Kata-kata kunci pertanyaan ini, seperti: apa, mengapa, bagaimana, dan
seterusnya.
· Merangsang
proses interaksi.
Pertanyaan
guru yang baik mendorong munculnya interaksi dan suasana menyenangkan pada diri
peserta didik. Dalam kaitan ini, setelah menyampaikan pertanyaan, guru
memberikan kesempatan kepada peserta didik mendiskusikan jawabannya. Setelah itu,
guru memberi kesempatan kepada seorang atau beberapa orang peserta didik
diminta menyampaikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Pola bertanya seperti
ini memposisikan guru sebagai wahana pemantul.
c. Tingkatan Pertanyaan
Pertanyaan guru yang baik dan benar menginspirasi peserta
didik untuk memberikan jawaban yang baik dan benar pula. Guru harus memahami
kualitas pertanyaan, sehingga menggambarkan tingkatan kognitif seperti apa yang
akan disentuh, mulai dari yang lebih rendah hingga yang lebih tinggi. Bobot
pertanyaan yang menggambarkan tingkatan kognitif yang lebih rendah hingga yang
lebih tinggi disajikan berikut ini.
Tingkatan
|
Subtingkatan
|
Kata-kata kunci pertanyaan
|
Kognitif
yang lebih rendah
|
§ Pengetahuan (knowledge)
|
§ Apa...
§ Siapa...
§ Kapan...
§ Di mana...
§ Sebutkan...
§ Jodohkan atau pasangkan...
§ Persamaan kata...
§ Golongkan...
§ Berilah nama...
§ Dll.
|
§ Pemahaman (comprehension)
|
§
Terangkahlah...
§
Bedakanlah...
§
Terjemahkanlah...
§
Simpulkan...
§
Bandingkan...
§
Ubahlah...
§
Berikanlah interpretasi...
|
|
§ Penerapan (application
|
§
Gunakanlah...
§
Tunjukkanlah...
§
Buatlah...
§
Demonstrasikanlah...
§
Carilah hubungan...
§
Tulislah contoh...
§
Siapkanlah...
§
Klasifikasikanlah...
|
|
Kognitif
yang lebih tinggi
|
§ Analisis (analysis)
|
§
Analisislah...
§
Kemukakan bukti-bukti…
§
Mengapa…
§
Identifikasikan…
§
Tunjukkanlah sebabnya…
§
Berilah alasan-alasan…
|
§ Sintesis (synthesis)
|
§
Ramalkanlah…
§
Bentuk…
§
Ciptakanlah…
§
Susunlah…
|
|
§
|
§
Rancanglah...
§
Tulislah…
§
Bagaimana kita dapat memecahkan…
§
Apa yang terjadi seaindainya…
§
Bagaimana kita dapat memperbaiki…
§
Kembangkan…
|
|
§ Evaluasi (evaluation)
|
§
Berilah pendapat…
§
Alternatif mana yang lebih baik…
§
Setujukah anda…
§
Kritiklah…
§
Berilah alasan…
§
Nilailah…
§
Bandingkan…
§
Bedakanlah…
|
- Menalar
a.
Esensi Menalar
Istilah “menalar” dalam kerangka
proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013
untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik
tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif
daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan
sistematis atas fakta-kata empiris
yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud merupakan penalaran
ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat.
Istilah
menalar di sini merupakan padanan dari associating;
bukan merupakan terjemanan dari reasonsing,
meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah
aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan
pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran
asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan
mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian
memasukannya menjadi penggalan memori. Selama mentransfer peristiwa-peristiwa
khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain.
Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan
berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu
dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi
merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari
kesamaan antara pikiran atau kedekatan
dalam ruang dan waktu.
Menurut
teori asosiasi, proses pembelajaran pembelajaran akan berhasil secara efektif
jika terjadi interaksi langsung antara pendidik dengan peserta didik. Pola
ineraksi itu dilakukan melalui stimulus dan respons (S-R). Teori ini dikembangan kerdasarkan hasil
eksperimen Thorndike, yang kemudian dikenal dengan teori asosiasi. Jadi,
prinsip dasar proses pembelajaran yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi,
yang juga dikenal dengan teori Stimulus-Respon (S-R). Menurut Thorndike, proses
pembelajaran, lebih khusus lagi proses belajar peserta didik terjadi secara
perlahan atau inkremental/bertahap, bukan secara tiba-tiba. Thorndike
mengemukakan berapa hukum dalam proses pembelajaran.
·
Hukum efek (The Law of Effect), di mana intensitas
hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) selama proses pembelajaran sangat
dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi. Jika akibat dari
hubungan S-R itu dirasa menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan
mengalami penguatan. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R dirasa tidak
menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan melemah. Menurut Thorndike, efek
dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat
perilaku peserta didik dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak
menyenangkan) dalam memperlemah perilakunya. Ini bermakna bahwa reward akan
meningkatkan perilaku peserta didik, tetapi punishment belum tentu akan
mengurangi atau menghilangkan perilakunya.
·
Hukum latihan (The
Law of Exercise). Awalnya, hukum ini terdiri dari dua jenis, yang setelah
tahun 1930 dinyatakan dicabut oleh Thorndike. Karena dia menyadari bahwa
latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Pertama, Law of Use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering
digunakan atau berulang-ulang. Kedua,
Law of Disuse, yaitu hubungan antara
S-R akan semakin melemah jika tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang.
Menurut Thorndike, perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan penguatan (reinforcement). Memang, latihan berulang
tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu menyadari
konsekuensi perilakunya.
·
Hukum kesiapan (The
Law of Readiness). Menurut Thorndike, pada prinsipnya apakah sesuatu itu
akan menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada
kesiapan belajar individunya. Dalam proses pembelajaran, hal ini bermakna bahwa
jika peserta dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka mereka akan merasa
puas. Sebaliknya, jika pesert didik dalam keadaan tidak siap dan belajar
terpaksa dilakukan, maka mereka akan merasa tidak puas bahkan mengalami
frustrasi. Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F.
Skinner dalam Operant Conditioning
atau pelaziman/pengkondisian operan. Pelaziman operan adalah bentuk
pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan
perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi.
Merujuk
pada teori S-R, proses pembelajaran akan makin efektif jika peserta didik makin
giat belajar. Dengan begitu, berarti makin tinggi pula kemampuannya dalam
menghubungkan S dengan R. Kaidah dasar yang digunakan dalam teori S-R adalah:
·
Kesiapan (readiness).
Kesiapan diidentifikasi berkaitan
langsung dengan motivasi peserta didik. Kesiapan itu harus ada pada diri guru
dan peserta didik. Guru harus benar-benar siap mengajar dan peserta didik
benar-benar siap menerima pelajaran dari gurunya. Sejalan dengan itu, segala
sumber daya pembelajaran pun perlu disiapkan secara baik dan saksama.
·
Latihan (exercise).
Latihan merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara berulang oleh
peserta didik. Pengulangan ini memungkinkan hubungan antara S dengan R makin
intensif dan ekstensif.
·
Pengaruh (effect).
Hubungan yang intensif dan berulang-ulang antara S dengan R akan meningkatkan
kualitas ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik sebagai hasil
belajarnya. Manfaat hasil belajar yang diperoleh oleh peserta didik dirasakan
langsung oleh mereka dalam dalam dunia kehidupannya.
Kaidah
atau prinsip “pengaruh” dalam pembelajaran berkaitan dengan kemamouan guru
menciptakan suasana, memberi penghargaan, celaan, hukuman, dan ganjaran. Teori
S – S ini memang terkesan robotik. Karenanya, teori ini terkesan
mengenyampingkan peranan minat, kreativitas,
dan apirasi peserta didik.
·
Oleh karena tidak semua perilaku belajar atau
pembelajaran dapat dijelaskan dengan pelaziman sebagaimana dikembangkan
oleh Ivan Pavlov, teori asosiasi
biasanya menambahkan teori belajar sosial (social
learning) yang dikembangkan oleh Bandura. Menurut Bandura, belajar terjadi
karena proses peniruan (imitation).
Kemampuan peserta didik dalam meniru respons menjadi pengungkit utama aktivitas
belajarnya. Ada empat konsep dasar teori belajar sosial (social learning theory) dari Bandura.
·
Pertama,
pemodelan (modelling), dimana peserta didik belajar dengan cara meniru perilaku
orang lain (guru, teman, anggota masyarakat, dan lain-lain) dan pengalaman
vicarious yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain itu.
·
Kedua,
fase belajar, meliputi fase memberi perhatian terhadap model (attentional),
mengendapkan hasil memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention),
menampilkan ulang perilaku model oleh pebelajar (reproduction), dan motivasi
(motivation) ketika peserta didik berkeinginan mengulang-ulang perilaku model
yang mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif dari lingkungan.
·
Ketiga,
belajar vicarious, dimana peserta didik belajar dengan melihat apakah orang
lain diberi ganjaran atau hukuman selama terlibat dalam perilaku-perilaku
tertentu.
·
Keempat,
pengaturan-diri (self-regulation), dimana peserta didik mengamati,
mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri.
Teori
asosiasi ini sangat efektif menjadi landasan menanamkan sikap ilmiah dan
motivasi pada peserta didik berkenaan dengan nilai-nilai instrinsik dari
pembelajaran partisipatif. Dengan cara ini peserta didik akan melakukan
peniruan terhadap apa yang nyata diobservasinya dari kinerja guru dan temannya
di kelas.
Bagaimana
aplikasinya dalam proses pembelajaran? Aplikasi pengembangan aktivitas
pembelajaran untuk meningkatkan daya menalar peserta didik dapat dilakukan
dengan cara berikut ini.
·
Guru menyusun bahan pembelajaran dalam bentuk yang
sudah siap sesuai dengan tuntutan kurikulum.
·
Guru tidak banyak menerapkan metode ceramah atau
metode kuliah. Tugas utama guru adalah memberi instruksi singkat tapi jelas
dengan disertai contoh-contoh, baik dilakukan sendiri maupun dengan cara simulasi.
·
Bahan pembelajaran disusun secara berjenjang atau
hierarkis, dimulai dari yang sederhana (persyaratan rendah) sampai pada yang
kompleks (persyaratan tinggi).
·
Kegiatan pembelajaran berorientasi pada hasil yang
dapat diukur dan diamati
·
Seriap kesalahan harus segera dikoreksi atau
diperbaiki
·
Perlu dilakukan pengulangan dan latihan agar perilaku
yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan atau pelaziman.
·
Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang
nyata atau otentik.
·
Guru mencatat semua kemajuan peserta didik untuk
kemungkinan memberikan tindakan pembelajaran perbaikan.
b. Cara
menalar
Seperti telah dijelaskan di muka,
terdapat dua cara menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif merupakan cara menalar dengan menarik
simpulan dari fenomena atau atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat
umum. Jadi, menalar secara induktif adalah proses penarikan simpulan dari
kasus-kasus yang bersifat nyata secara individual atau spesifik menjadi
simpulan yang bersifat umum. Kegiatan menalar secara induktif lebih banyak
berpijak pada observasi inderawi atau pengalaman empirik.
Contoh:
·
Singa
binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan
·
Harimau
binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan
·
Ikan Paus
binatang berdaun telinga berkembangbiak dengan melahirkan
·
Simpulan:
Semua binatang yang berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan
Penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik
simpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju
pada hal yang bersifat khusus. Pola penalaran deduktif dikenal dengan pola
silogisme. Cara kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan hal-hal yang
umum terlebih dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Ada tiga jenis silogisme, yaitu silogisme kategorial,
silogisme hipotesis, silogisme alternatif. Pada penalaran deduktif tedapat
premis, sebagai proposisi menarik simpulan. Penarikan simpulan dapat dilakukan
melalui dua cara, yaitu langsung dan
tidak langsung. Simpulan secara langsung ditarik dari satu premis, sedangkan
simpulan tidak langsung ditarik dari dua premis.
Contoh :
·
Kamera
adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi
·
Telepon
genggam adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperas.
·
Simpulan:
semua barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi.
4. Analogi dalam
Pembelajaran
Selama
proses pembelajaran, guru dan pesert didik sering kali menemukan fenomena yang
bersifat analog atau memiliki persamaan. Dengan demikian, guru dan peserta
didik adakalamua menalar secara analogis. Analogi adalah suatu proses penalaran
dalam pembelajaran dengan cara membandingkan sifat esensial yang mempunyai
kesamaan atau persamaan.
Berpikir
analogis sangat penting dalam pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam
daya nalar peserta didik. Seperti halnya penalaran, analogi terdiri dari dua
jenis, yaitu analogi induktif dan analogi deduktif. Kedua analogi itu
dijelaskan berikut ini.
Analogi
induktif disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua fenomena atau gejala.
Atas dasar persamaan dua gejala atau fenomena itu ditarik simpulan bahwa apa
yang ada pada fenomena atau gejala pertama terjadi juga pada fenomena atau
gejala kedua. Analogi induktif merupakan suatu ‘metode menalar’
yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu simpulan yang dapat diterima
berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua fenomena atau gejala
khusus yang diperbandingkan.
Contoh:
Peserta
didik Pulan merupakan pebelajar yang tekun. Dia lulus seleksi Olimpiade Sains
Tingkat Nasional tahun ini. Dengan demikian, tahun ini juga, Peserta didik
Pulan akan mengikuti kompetisi pada
Olimpiade Sains Tingkat Internasional. Untuk itu dia harus belajar lebih tekun
lagi.
Analogi
deklaratif merupakan suatu ‘metode
menalar’ untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu fenomena
atau gejala yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah
dikenal. Analogi deklaratif ini sangat bermanfaat
karena ide-ide baru, fenomena, atau gejala menjadi dikenal atau dapat diterima
apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah dketahui secara nyata dan
dipercayai.
Contoh:
Kegiatan
kepeserta didikan akan berjalan baik jika terjadi sinergitas kerja antara
kepala sekolah, guru, staf tatalaksana, pengurus organisasi peserta didik intra
sekolah, dan peserta didik. Seperti halnya kegiatan belajar, untuk mewujudkan
hasil yang baik diperlukan sinergitas antara ranah sikap, keterampilan, dan
pengetahuan.
5. Hubungan Antarfenonena
Seperti
halnya penalaran dan analogi, kemampuan menghubungkan antarfenomena atau gejala
sangat penting dalam proses pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya
nalar peserta didik. Di sinilah esensi bahwa guru dan peserta didik dituntut
mampu memaknai hubungan antarfenonena atau gejala, khususnya hubungan
sebab-akibat.
Hubungan
sebab-akibat diambil dengan menghubungkan satu atau beberapa fakta yang satu
dengan datu atau beberapa fakta yang lain. Suatu simpulan yang menjadi sebab
dari satu atau beberapa fakta itu atau dapat juga menjadi akibat dari satu atau
beberapa fakta tersebut.
Penalaran
sebab-akibat ini masuk dalam ranah penalaran induktif, yang disebut dengan penalaran
induktif sebab-akibat. Penalaran induksi sebab akibat terdiri dri tiga jenis.
·
Hubungan sebab–akibat. Pada penalaran hubungan
sebab-akibat, hal-hal yang menjadi sebab dikemukakan terlebih dahulu, kemudian
ditarik simpulan yang berupa akibat.
Contoh:
Bekerja keras, belajar tekun, berdoa, dan tidak putus
asa adalah faktor pengungkit yang bisa
membuat kita mencapai puncak kesuksesan.
·
Hubungan akibat–sebab. Pada penalaran hubungan
akibat-sebab, hal-hal yang menjadi akibat dikemukakan terlebih dahulu, selanjutnya
ditarik simpulan yang merupakan penyebabnya.
Contoh :
Akhir-ahir ini sangat marak kenakalan remaja, angka
putus sekolah, penyalahgunaan Nakoba di kalangan generasi muda, perkelahian
antarpeserta didik, yang disebabkan oleh pengabaian orang tua dan ketidaan
keteladanan tokoh masyarakat, sehingga mengalami dekandensi moral secara
massal.
·
Hubungan sebab–akibat 1 – akibat 2. Pada penalaran
hubungan sbab-akibat 1 –akibat 2, suatu
penyebab dapat menimbulkan serangkaian akibat. Akibat yang pertama menjadi
penyebab, sehingga menimbulkan akibat kedua. Akibat kedua menjadi penyebab
sehingga menimbulkan akibat ketiga, dan seterusnya.
Contoh:
Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, hidupnya
terisolasi. Keterisolasian itu menyebabkan mereka kehilangan akses untuk
melakukan aktivitas ekonomi, sehingga muncullah kemiskinan keluarga yang akut.
Kemiskinan keluarga yang akut menyebabkan anak-anak mereka tidak berkesempatan
menempuh pendidikan yang baik. Dampak lanjutannya, bukan tidak mungkin terjadi
kemiskinan yang terus berlangsung secara siklikal.
6. Mencoba
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik,
peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi
atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA, misalnya, peserta didik
harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan
pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan
bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya
sehari-hari.
Aplikasi metode eksperimen atau mencoba dimaksudkan untuk
mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan, dan
pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini adalah: (1) menentukan
tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum; (2)
mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus
disediakan; (3) mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil
eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5) mencatat
fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data; (6) menarik simpulan
atas hasil percobaan; dan (7) membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil
percobaan.
Agar pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar maka: (1) Guru hendaknya merumuskan
tujuan eksperimen yanga akan dilaksanakan murid (2) Guru bersama murid
mempersiapkan perlengkapan yang dipergunakan (3) Perlu memperhitungkan tempat
dan waktu (4) Guru menyediakan kertas kerja untuk pengarahan kegiatan murid (5)
Guru membicarakan masalah yanga akan yang akan dijadikan eksperimen (6) Membagi
kertas kerja kepada murid (7) Murid melaksanakan eksperimen dengan bimbingan
guru, dan (8) Guru mengumpulkan hasil kerja murid dan mengevaluasinya, bila
dianggap perlu didiskusikan secara klasikal.
Kegiatan pembelajaran dengan pendekatan eksperimen atau
mencoba dilakukan melalui tiga tahap, yaitu, persiapan, pelaksanaan, dan tindak
lanjut. Ketiga tahapan eksperimen atau mencoba dimaksud dijelaskan berikut ini.
a. Persiapan
·
Menentapkan tujuan eksperimen
·
Mempersiapkan alat atau bahan
·
Mempersiapkan tempat eksperimen
sesuai dengan jumlah peserta
didik serta alat atau
bahan yang tersedia. Di sini guru perlu menimbang apakah peserta didik akan melaksanakan
eksperimen atau mencoba secara serentak atau dibagi menjadi beberapa kelompok
secara paralel atau bergiliran
·
Memertimbangkan masalah keamanan dan kesehatan agar dapat memperkecil atau
menghindari risiko yang mungkin timbul
·
Memberikan penjelasan
mengenai apa yang harus diperhatikan dan tahapa-tahapan yang harus dilakukan peserta
didik, termasuk hal-hal yang dilarang atau membahayakan.
b. Pelaksanaan
·
Selama proses eksperimen atau mencoba, guru ikut membimbing dan mengamati proses percobaan. Di sini guru harus memberikan dorongan dan bantuan terhadap
kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik agar kegiatan
itu berhasil dengan baik.
·
Selama proses
eksperimen atau mencoba, guru hendaknya memperhatikan situasi secara keseluruhan,
termasuk membantu mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan menghambat
kegiatan pembelajaran.
c. Tindak
lanjut
- Peserta didik mengumpulkan laporan hasil eksperimen kepada guru
- Guru memeriksa hasil eksperimen peserta didik
- Guru memberikan umpan balik kepada peserta didik atas hasil eksperimen.
- Guru dan peserta didik mendiskusikan
masalah-masalah yang ditemukan selama eksperimen.
- Guru dan peserta didik memeriksa
dan menyimpan kembali segala bahan dan alat yang digunakan
No comments:
Post a Comment